Yogyakarta, sebuah kota yang kaya akan budaya dan warisan sejarah, memiliki dua alun-alun yang sangat terkenal. Pertama adalah Alun-Alun Lor (Utara), yang berada di depan Keraton, dan yang kedua adalah Alun-Alun Kidul (Selatan) yang terletak di belakang Keraton.
Kedua alun-alun ini memiliki kesamaan dengan adanya beringin kembar yang tumbuh berdampingan, dan keduanya juga terkait dengan berbagai cerita mitos yang menarik.
Kedua pohon beringin yang tumbuh di tengah-tengah kedua alun-alun ini bukanlah sekadar tanaman biasa. Di Alun-Alun Utara, kedua pohon beringin memiliki nama Kiai Dewadaru dan Kiai Janadaru (saat ini dikenal sebagai Kiai Wijayadaru).
Dalam Serat Salakapatra, benih dari Kiai Janadaru berasal dari Keraton Pajajaran, sementara benih Kiai Dewadaru berasal dari Keraton Majapahit.
Pohon Dewandaru mengandung makna dari kata ‘dewa’ (Tuhan) dan ‘daru’ (cahaya), sehingga secara harfiah dapat diartikan sebagai cahaya ketuhanan. Bersanding dengan Masjid Gedhe Kauman, Kiai Dewadaru berada di sebelah barat garis sumbu filosofis, melambangkan hubungan manusia dengan Tuhan.
Sementara Pohon Janadaru berasal dari kata ‘jana’ (manusia) dan ‘daru’ (cahaya), sehingga dapat diartikan sebagai cahaya kemanusiaan.
Pohon Janadaru berada di sisi timur dan bersebelahan dengan Pasar Beringharjo, yang juga memiliki makna filosofis sebagai hubungan antarmanusia atau hubungan ‘habluminannas’.
Seluruh area Alun-Alun Utara dan Alun-Alun Selatan tertutup oleh pasir yang lembut. Namun, saat ini Alun-Alun Utara sudah dibatasi dan warga tidak diperbolehkan masuk, sementara Alun-Alun Selatan masih terbuka untuk umum.
Pasir tersebut memiliki makna sebagai lautan tak berpantai yang merupakan simbolisasi dari keagungan Tuhan. Oleh karena itu, makna yang terkandung dalam kedua alun-alun ini adalah “Manunggaling Kawula Gusti,” yang bermakna bersatunya raja dengan rakyat serta bertemunya manusia dengan Tuhannya.
Di Alun-Alun Utara sebenarnya terdapat 64 pohon beringin. Dua beringin berada di tengah-tengah alun-alun, dan 62 lainnya mengelilingi area tersebut. Angka 64 memiliki arti sebagai usia Rasulullah SAW ketika wafat dalam perhitungan Jawa.
Pohon-pohon ini bukanlah sembarang pohon, mereka memiliki berbagai kisah menarik yang menyertainya, seperti kisah pernikahan putri Hamengkubuwono I. Cerita yang berkembang di masyarakat Yogya tentang beringin kembar berusia ratusan tahun tersebut berasal dari zaman Sultan HB I.
Pada suatu masa, putri Sultan menolak pinangan seorang pemuda dengan cara meminta syarat yang sulit, yakni berjalan dengan mata tertutup dari pendopo di sebelah utara Alun-Alun Kidul, melewati sela-sela antara dua pohon beringin kembar, dan berakhir di pendopo di sebelah selatan alun-alun. Sang pemuda gagal dalam misinya, sehingga lamarannya ditolak.
Sultan HB I kemudian menyatakan bahwa yang bisa melewati beringin kembar dengan mata tertutup hanyalah pemuda yang memiliki hati yang bersih dan tulus. Akhirnya, seorang pemuda yang dikatakan sebagai putra Prabu Siliwangi berhasil melewati rintangan tersebut dan menikahi sang putri.
Kepercayaan terhadap mitos ini terus berkembang di kalangan warga lokal pada masa Sultan HB VI. Diyakini secara umum bahwa Keraton Yogyakarta memiliki hubungan khusus dengan Ratu Pantai Selatan, Nyi Roro Kidul.
Oleh karena itu, berkembanglah keyakinan bahwa siapapun yang berniat buruk terhadap Keraton Yogyakarta akan kehilangan kesaktiannya setelah melewati beringin kembar.
Mitos ini menjadi legenda di kalangan masyarakat lokal, bahwa siapa pun yang bisa melewati sela-sela dua beringin kembar tersebut dengan mata tertutup, akan berhasil mewujudkan keinginannya. Oleh karena itu, hingga saat ini, banyak orang yang penasaran dan ingin mencoba membuktikan mitos tersebut.
No responses yet