Tugu Jogja yang berdiri di perempatan Jalan Pangeran Mangkubumi, Jalan Jendral Soedirman, Jalan A.M Sangaji, dan Jalan Diponegoro telah menjadi simbol sejarah Kota Yogyakarta selama hampir tiga abad.
Dibangun sekitar satu tahun setelah pendirian Keraton Yogyakarta tepatnya pada tahun 1756, tugu ini awalnya menunjukkan semangat Manunggaling Kawula Gusti, yang menggambarkan persatuan antara rakyat dan penguasa dalam perlawanan terhadap penjajahan.
Tugu ini memiliki bentuk unik yang mengekspresikan semangat persatuan tersebut. Dengan tiang berbentuk silinder dan puncak berbentuk bulat, dikenal sebagai Tugu Golong-Gilig. Awalnya, bangunan ini memiliki ketinggian sekitar 25 meter dengan bentuk dasar berupa pagar melingkar dan puncak bulat.
Namun, pada tanggal 10 Juni 1867, gempa mengguncang Yogyakarta dan menyebabkan runtuhnya tugu. Peristiwa ini menjadi masa transisi sebelum tugu direnovasi, di mana makna persatuan belum sepenuhnya tercermin.
Pada tahun 1889, pemerintah Belanda merenovasi tugu ini. Bangunan dibuat dengan bentuk persegi yang dihiasi prasasti di setiap sisinya, menunjukkan mereka yang terlibat dalam renovasi.
Puncak tugu tidak lagi berbentuk bulat, melainkan berbentuk kerucut yang tajam. Ketinggiannya juga berkurang menjadi 15 meter, jauh lebih rendah dari bentuk aslinya. Setelah renovasi ini, tugu dikenal sebagai De Witt Paal atau Tugu Pal Putih.
Renovasi ini sebenarnya merupakan upaya Belanda untuk mengurangi semangat persatuan antara rakyat dan raja. Namun, upaya ini tidak berhasil terlihat dari perjuangan yang terus dilakukan oleh rakyat dan raja di Yogyakarta.
Bagi yang ingin mengunjungi Tugu Jogja sambil merenungkan makna filosofisnya, dapat menemukan bangku yang menghadap ke tugu di pojok Jl. Pangeran Mangkubumi. Waktu terbaik untuk mengunjungi adalah antara pukul 05.00 – 06.00 pagi, ketika udara masih segar dan aktivitas kendaraan belum begitu ramai. Sesekali, mungkin Anda akan bertemu dengan loper koran yang ramah menuju kantor sirkulasi harian Kedaulatan Rakyat.
No responses yet