Masjid Gede Kauman, sebuah keajaiban sejarah yang megah dan penuh dengan nilai-nilai bersejarah, menandakan keunggulan arsitektur klasik Jawa dan kebijaksanaan spiritual yang dalam. Bangunan ini adalah salah satu dari banyak situs warisan yang memberikan kesaksian tentang perjalanan panjang peradaban Islam di Jawa.
Terletak di barat Alun-Alun Utara Yogyakarta, Masjid Gede Kauman merupakan bagian tak terpisahkan dari warisan Kerajaan Mataram Islam. Meskipun usianya telah melampaui 200 tahun, masjid ini tetap menjaga keutuhan budaya Jawa dalam segi arsitekturnya dan mengabadikan keberagaman budaya masyarakat di sekitarnya.
Dibangun pada tahun 1773 oleh Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) I, masjid ini melambangkan keharmonisan budaya dalam Kerajaan Islam Ngayogyakarta Hadiningrat. Kini, selain menjadi tempat ibadah, Masjid Gede Kauman juga menjadi daya tarik wisata religi dan sejarah bagi para pengunjung yang mengunjungi Yogyakarta.
Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 memulai pembangunan masjid ini, 18 tahun sebelum pembangunannya dimulai. Pada awal berdirinya Kesultanan Yogyakarta, masjid ini bukan hanya digunakan untuk urusan hukum Islam dan pertemuan ulama, tetapi juga sebagai tempat pertemuan intelektual dalam mendukung keberlangsungan kegiatan agama.
Setelah mengalami gempa besar pada tahun 1867, Masjid Gede mengalami dua kali proses renovasi untuk memperbaiki kerusakan akibat bencana tersebut.
Keunikan arsitektur Masjid Gedhe Kauman tercermin dari keberadaan empat pilar utama yang dikenal sebagai soko guru, mendukung atap berbentuk Tajug Lambang Teplok atau atap bertingkat tiga yang mencerminkan filosofi dalam memahami ilmu tasawuf, yaitu hakikat, syariat, dan ma’rifat.
Struktur masjid terdiri dari bangunan utama (liwan), serambi, dan emperan. Tata letak ruangan melibatkan ruang terbuka dan tertutup serta pagar yang mengelilingi kolam, melambangkan perlindungan setelah benteng.
Di ruang dalamnya, terdapat kolam jagang sebagai tempat untuk membersihkan kaki. Di halaman masjid, dua jalur memisahkan kompleks makam dan kolam (sendang).
Kompleks masjid juga mencakup dua bangunan tambahan, yakni pagongan, yang biasanya menyimpan dua set gamelan pusaka, Kiai Gunturmadu dan Kiai Nagawilaga, yang dimainkan saat perayaan Maulid Nabi Muhammad.
Karakteristik masjid yang memiliki bangunan terbuka tanpa dinding dengan atap limasan mencerminkan kepemilikan masjid oleh Sultan, ditandai dengan mahkota berbentuk bunga, yang disebut mustaka, pada puncak atapnya.
No responses yet