Selokan Mataram, seiring dengan gemanya, mungkin belum sepenuhnya tersingkap dalam narasi sejarah Indonesia. Namun, kehadirannya telah menyelamatkan tidak hanya pertanian di Yogyakarta tetapi juga membawa harapan bagi masyarakat pada masa-masa yang sulit.
Selokan Mataram adalah sistem saluran irigasi yang menghubungkan Sungai Progo di sebelah barat dengan Sungai Opak di sebelah timur. Pada awalnya, parit ini sudah ada sejak masa penjajahan Belanda pada tahun 1914.
Seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan air untuk perkebunan tebu dan sawah di daerah Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengusulkan kepada pemerintah Jepang untuk membangun saluran irigasi ini.
Menurut Sri Sultan Hamengkubuwono IX, pembangunan saluran irigasi ini sangatlah penting untuk mendukung kegiatan pertanian di Yogyakarta yang mengandalkan sistem tadah hujan.
Pembangunan Selokan Mataram dimulai pada bulan Agustus 1944. Proyek ini membentang sepanjang 21 km dengan terowongan sepanjang 600 meter dan dilengkapi dengan 52 jembatan. Area pengairan Selokan Mataram memiliki luas 15.734 hektar yang bermula dari Bendungan Karangtalun di Dusun Karangtalun, Desa Karangtalun, Kecamatan Ngluwar, Kabupaten Magelang, yang terletak di sisi timur Sungai Progo.
Proses pembangunan Selokan Mataram dimulai dengan membuat satu sodetan dari Selokan Van der Wijck di salah satu titiknya yang terletak di Desa Macanan, sisi timur Desa Bligo, Ngluwar, Magelang.
Titik ini menjadi titik 0 km dari Selokan Mataram dan Selokan Van der Wijck. Selain itu, saluran sepanjang 3 km dari titik tersebut ke sudetan Sungai Progo di Karang Talun, Ngluwar, Magelang dikenal dengan Saluran Induk Irigasi Mataram.
Pembangunan Selokan Mataram melibatkan dua pihak, yaitu pemerintah militer Jepang sebagai pengawas dan pemerintah Keraton Yogyakarta yang bekerja di bidang Kemakmuran dan Pekerjaan Umum sebagai pelaksana.
Pihak militer Jepang memimpin setiap tahapan pembangunan proyek Selokan Mataram. Untuk kelancaran administrasi dan pengerahan tenaga kerja, pemerintah setempat (Kapanewon dan Kelurahan) juga turut serta.
Proses pembangunan dimulai dengan pengukuran dan pematokan yang dilakukan oleh pihak Keraton Yogyakarta dengan bantuan aparat kelurahan setempat. Setelah itu, dilakukan penggalian Selokan Mataram.
Penggalian ini membutuhkan tenaga kerja besar karena saat itu belum menggunakan alat berat seperti traktor. Para pekerja, sebanyak 1.289.000 orang dan 68.000 romusha sukarela, terbagi menjadi buruh dan kerik aji (kerja bakti).
Biaya pembangunan Selokan Mataram mencapai f 1.600.000. Upah romusha bervariasi, ada yang antara f 0,35 dan f 0,40, namun ada pula yang tidak mendapat bayaran dan hanya mendapat jatah makan satu kali sehari.
Sebagian pekerja diupah secara borongan, dihitung per meter persegi untuk meratakan tanah. Mereka mendapat jatah makan sekali sehari dan upah setiap akhir pekan. Upah mereka tergantung pada seberapa banyak tanah yang mereka gali, rata-rata sekitar 10 sen per hari.
Kelompok kerik aji yang bekerja hingga tengah hari hanya menerima jatah makan saja tanpa upah. Meskipun upah yang diterima tidak seberapa, proyek pembangunan Selokan Mataram ini berhasil mencegah pemanggilan warga sebagai romusha.
Proyek ini juga membawa kemakmuran bagi masyarakat Yogyakarta, terutama dalam bidang pertanian. Luas sawah yang mendapat pengairan sempurna sekitar 8200 hektar, menghasilkan padi sebanyak 160.000 kuintal setahun, sebagian hasilnya disetorkan kepada pemerintah Jepang.
No responses yet